3 Alasan Ulama' Tidak Mau Tinggal di Kota Mekkah
PelangiBlog.Com - Mekkah merupakan tempat paling istimewah di dunia ini. Setiap ibadah yang dilaksanakan disana akan dilipat gandakan pahala dan balasannya. Seperti halnya Rosulullah SAW berkata :
صلاة في مسجد المدينة بعشرة الاف صلاة وصلاة في مسجد الأقصي بألف صلاة وصلاة في مسجد الحرام بمائة الف صلاة
“Melakukan 1 sholat di Masjid Madinah sama halnya dengan melakukan 10.000 sholat diluar Masjid Madinah. Melakukan 1 sholat di Masjidil Aqsho sama dengan melakukan 1.000 sholat diluar Masjidil Aqsho. Sedangkan melakukan 1 sholat di Masjidil Harom sama halnya melakukan 100.000 sholat diluar Masjidil Harom”
Namun, ada beberapa alasan ulama’ (khususnya ulama’ hakekat) yang kurang suka jika mereka tinggal dan hidup di Kota Mekkah. Diantara alasan tersebut adalah :
1. Khawatir Bosan
Jika terlalu lama hidup di Kota Mekkah. Mereka mengganggap bahwa rasa bosan itulah yang akan menghilangkan cinta dan rindu akan Kota Mekkah dan Baitullah, rasa bosan itulah yang membakar hati untuk selalu memuliakan Kota Mekkah dan Baitullah sehingga ibadah yang dilakukan tidak lagi murni karena Allah dandemi memuliakan kota-Nya.
Pada zaman Kholifah Ummar, beliau pernah berkata kepada para jamah haji yang senang menetap lama di Kota Mekkah “Wahai penduduk Yaman, kembalilah kalian ke Kota Yaman…wahai penduduk Syam, kembalilah kalian ke Kota Syam…Wahai penduduk Iraq, kembalilah kalian ke Kota Iraq”. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir akan jamaah haji yang merasa nyaman karena terlalu lama tinggal di Kota Mekkah sehingga menghilangkan rindu dan cinta mereka akan Baitullah.
Sesuatu hal yang diidolakan apabila jauh dari mata dan terpisah oleh jarak dan waktu, maka akan semakin manis dan mesra saat berjumpa. Namun sebaliknya, sesuatu hal yang dicintai jika terlalu biasa dan sering dijumpa, maka tidak akan terasa lagi kemesraan meski dalam yang indah sekalipun, begitulah kebanyakan watak manusia.
2. Hilangnya Rindu
Untuk kembali berziarah ke Kota Mekkah. Allah menjadikan Baitullah sebagai tempat kembali dan tempat yang aman bagi para manusia. Orang-orang muslim yang telah selesai melaksanakan ibadah haji akan meninggalkan Kota Mekkah dan akan kembali lagi pada lain masa karena rindu akan panggilan Allah. Sedangkan orang yang terlalu lama menetap dan terlalu sering berziarah ke Kota Mekkah biasanya perasaan rindu semata-mata karena Allah dalam hati sedikit-demi sedikit akan luntur.
Hal inilah yang menyebabkan banyak para muslimin yang berziarah ke Kota Mekkah bukan karena Allah semata, tetapi mungkin karena ada alasan lain seperti berdagang, refreshing pikiran, tour, dan bahkan karena sombong, ujub dan riya. Sebagian Ulama’ mengatakan “Kamu berada di negaramu sedangkan hatimu rindu akan Kota Mekkah, itu lebih baik daripada kamu berada di Kota Mekkah tetapi kamu bosan dan hatimu tidak hadir (rindu) disana melainkan hatimu berada di Negara lain”.
Sebagian Ulama’ salaf juga berkata “Banyak diantara orang yang berada di daerah Khurasan lebih dekat dengan Baitullah daripada orang melaksanakan thowaf”. Artinya banyak orang yang thowaf tetapi hati mereka samar dan tidak tertuju pada Baitullah, sedangkan banyak diantara orang yang berada jauh dari kota Mekkah tetapi lebih dekat dengan Baitullah karena hati mereka rindu dan berharap bisa berziarah ke Mekkah dengan niat yang tulus semata karena Allah.
3. Khawatir Melakukan Salah dan Dosa di Kota Mekkah
Melakukan salah dan dosa di Kota Mekkah dapat menyebabkan murka Allah karena Mekkah adalah tempat yang mulia bukan tempat untuk melakukan dosa. Diceritakan dari Wahab bin Ward Al Maky, salah seorang wali Allah yang tinggal di Kota Mekkah. Pada suatu hari beliau melakukan sholat sunnah di depan Hajar Aswad. Atas izin Allah, hati beliau terbuka sehingga tanpa disengaja beliau mendengar suara diantara Ka’bah dan penutup Ka’bah. Suara tersebut adalah suara hajar aswad yang mengeluh “Hanya kepada Allah aku mengeluh, kemudian kepadamu wahai Malaikat Jibril. Aku tidak bertemu dan tidak mendengar pembicaraaan para orang yang thowaf kecuali hanya perkataan bualan dan pekerjaan yang sia-sia. Jika mereka tidak menghentikan melakukan itu, maka sungguh aku akan mengipatkan bagian diriku sehingga setiap batu yang ada pada diriku akan kembali pada gunung tempat dimana setiap bagianku diambil”.
Dalam pendapat lain ulama’ menyatakan bahwa perbuatan buruk yang dilakukan di dalam Kota Mekkah akan dilipatkan sebagaimana dilipakkannya pahala dalam melakukan kebaikan. Ibnu Abbas ra berkata “Sungguh jika aku melakukan 70 perbuatan dosa di daerah Rukinah (tempat antara Mekkah dan Thoif), hal itu lebih aku sukai jika aku melakukan dosa satu di Kota Mekkah”.
Dalam pendapat lain ulama’ menyatakan bahwa perbuatan buruk yang dilakukan di dalam Kota Mekkah akan dilipatkan sebagaimana dilipakkannya pahala dalam melakukan kebaikan. Ibnu Abbas ra berkata “Sungguh jika aku melakukan 70 perbuatan dosa di daerah Rukinah (tempat antara Mekkah dan Thoif), hal itu lebih aku sukai jika aku melakukan dosa satu di Kota Mekkah”.
Ketiga alasan yang didasarkan sebagian ulama’ diatas tidaklah mengurangi atau menghilangkan kemuliaan dan keutamaan tinggal di Kota Mekkah. Lebih memilih tinggal di luar Kota Mekkah dengan ketiga alasan di atas lebih baik dari pada tinggal di Kota Mekkah dengan ceroboh dalam melakukan dosa dan semakin bosan dalam melakukan ibadah.
Tetapi jika memilih tinggal di Kota Mekkah dengan benar-benar melaksanakan hak dan kewajiban ibadah sebagai wujud memuliakan Kota Mekkah, maka hal itu merupakan suatu kebaikan yang amat besar, melihat Baitullah adalah suatu kebaikan, dan setip perbuatan di Kota Mekkah dilipatgandakan pahalanya. Ketika Rosulullah SAW kembali dan memiliki ke Kota Mekkah setelah bertahun-tahun beliau diusir, beliau segera menghadap Ka’bah dan berkata :
انك لخير ارض الله عز وجل واحب بلاد الله الي ولولا اني اخرجت منك لما خرجت
“(Wahai Kota Mekkah) sesungguhnya kamu adalah sebaik-baik bumi Allah dan negara yang paling aku cintai. Jika saja aku tidak diusir darimu, maka aku tak akan meninggalkanmu”
Sumber : Kitab Ikya' Ulumuddin, Bab Fadhilah dan Kemakruhan Tinggal di Kota Mekkah, Juz 1/244.
Penulis : Imam Ghozaly
Tags:
Religi