Biografi Lengkap Syekh Ibnu Atho'illah Al-Iskandari
PelangiBlog.Com - Syekh Ibnu Atho’illah adalah seorang mursid (pemimpin dan pembimbing) Thoriqot Syadziliyah generasi ketiga. Nama beliau adalah Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdur Rohman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husain Ibnu Atho’illah.
Beliau adalah pengarang kitab tasawwuf yang terkenal yakni Al-Hikam, yang dari semua thoriqot tak ada satupun yang tidak mengenal kitab ini. Kitab Al-Hikam tersebut tidak memiliki pembuka maupun penutupnya, ini menunjukkan bahwa kitab ini bisa dipelajari dari sembarang arah, awal, tengah, atau akhir kitab.
Siapakan Syekh Ibnu Atho’illah ?
Syekh Ibnu Atho’illah As-Iskandary berasal dari keturunan qobilah (suku) Judam dan merupakan syekh dengan madzhab Maliki. Beliau tinggal di Desa Iskandary Kota Mesir sebagai seorang ahli shufi secara hakekat.
Syekh Ibnu Atho’illah adalah seorang mufti (orang yang memberi fatwa) dan seorang syekh yang ahli dalam memberi nasehat kerohanian dan mempunyai banyak pengikut. Beliau adalah orang yang telah mencapai pada Allah dan berhasil mengantarkan murid-murid beliau menuju jalan kepada Allah. Beliau sering menerangkan tentang teori-teori dan jalan spiritual yang dialami oleh ahli shufi.
Apa Saja Kearifan Syekh Ibnu Athoillah ?
Syekh Ibnu Atho’illah adalah santri dari Syekh Abu Abbas Al-Marsi (Mursyid Thoriqot Syadziliyyah generasi kedua), sedangkan Syekh Abu Abbas Al-Marsi adalah santri dari Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili (seorang mursyid pendiri Thoriqot Syadziliyyah, dan seorang Wali Qutub atau pimpinan seluruh wali Allah/kekasih Allah di zaman itu)
Syekh Ibnu Atho’illah telah berhasil mengumpulkan dan menguasai berbagai ilmu yang diantaranya adalah ilmu hadist, ilmu fiqih, ilmu usul fiqih, ilmu nahwu shorof, ilmu tafsir, ilmu tasawwuf, dan berbagai macam ilmu lainnya.
Lebih singkatnya beliau telah berhasil menguasai ilmu-ilmu syariat dan juga ilmu-ilmu hakekat. Guru beliau, Syekh Abu Abbas Al-Marsi memberikan julukan kepada beliau sebagai Muftil Madzhabain yang artinya orang yang bisa memberi fatwa dan nasehat terhadat dua madzhab, yakni madzhab syariat dan madzhab hakekat.
Selain itu, para ulama’ ahli tasawwuf memberikan beberapa julukan kepada beliau, yang diantaranya adalah :
- Asy-Syekh Al-Imam Tajuddin, beliau adalah seorang syekh yang mejadi mahkota agama.
- Qutbul Arifin, beliau adalah pusat para orang yang ma’rifat kepada Allah
- Tarjumanul Washilin, beliau adalah syekh yang menjadi juru bicara bagi para pencari Allah
- Mursidus Salikin, beliau adalah pembimbing orang yang berjalan menuju Allah
- Munqidhul Halikin, beliau adalah penyelamat bagi orang yang terjerumus dalam melakukan kerusakan
- Mudh’hiru Syumusil Ma’arif, beliau adalah orang yang berhasil menampakkan matahari-matahari pengetahuan rohani dan hakekat.
- Mubdi Asroril Atho’iq, beliau adalah orang yang bisa menampilkan rahasia-rahasia lembut dan rumit tentang rohani dan hakekat, yang jarang ulama’-ulama’ lain bisa menjelaskannya.
Bagaimana Sejarah Singkat Syekh Ibnu Atho’illah Menjadi Seorang Shufi ?
Sebelum beliau mengenal tentang manisnya dunia hakekat dan lembutnya dunia spiritual, Syekh Ibnu Atho’illah adalah seorang ahli berbagai ilmu syariat, yang diantaranya adalah ilmu hadist, ilmu fiqih dan usul fiqih, ilmu tafsir, ilmu sastra dan bahasa, dan berbagai macam ilmu lainnya.
Karena kepandaian beliau dalam ilmu agama, beliau menjadi salah satu tokoh agama di daerah itu (Kyai kalau zaman sekarang). Seorang ahli syariat yang belum mengenal thoriqot dan hakekat.
Suatu ketika beliau mendapati sebuah konflik dengan para murid Syekh Abu Abbas Al-Marsi. Beliau merasa janggal dan ingkar terhadap ajaran Syekh Abu Abbas Al-Marsi yang dipraktekkan oleh murid-muridnya.
Maka terjadilah perselisihan pendapat antara beliau dan para murid Syekh Abu Abbas Al-Marsi. Akhirnya karena kepandaian beliau dalam ilmu syari’at, para murid Syekh Abu Abbas Al-Masri terpojok dan tidak bisa menjawab bantahan beliau.
Kemudian para murid tersebut berkata “Aku ini hanyalah seorang murid, aku mempunyai guru yang menjadi landasanku. Sebaiknya, suatu saat kamu mengikuti pengajian yang diberikan kepada guruku”.
Beliau pun memikirkan atas apa yang dikatakan murid-murid tadi. Beliau berkata dalam hati beliau “Iya, memang benar apa yang dikatakannya. Jika ini benar-benar haq, maka Allah akan menunjukkan pertanda”.
Akhirnya beliau berangkat menemui Syekh Abu Abbas Al-Marsi untuk mengikuti pengajiannya. Pada waktu itu dalam pengajiannya, Syekh Abu Abbas Al-Marsi menerangkan tentang tingkat-tingkat kesulukan (suluk artinya berjalan menuju Allah).
Syekh Abu Abbas Al-Marsi menerangkan hal tersebut secara panjang lebar dan sulit dipahami oleh orang biasa. Diantaranya hal yang diterangkan oleh Syekh Abu Abbas Al-Marsi adalah tentang anfas atau kehidupan seseorang, pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang salik (orang yang suluk atau orang yang berjalan menuju Allah), tingkat kedekatan seorang salik kepada Allah dan macam-macam jenis seorang salik.
Sampai Syekh Abu Abbas Al-Marsi menerangkan tingkat pertama adalah islam yang menempati darojatul inqiyad (derajat tunduk kepada Allah), kemudian ta’at dan melakukan syariat Allah.
Tingkat kedua adalah iman yang menempati maqom ma’rifat haqyakni mengenal hakekat syariat dengan mengerti keharusan-keharusan tambah. Tingkat ketiga yakni ikhsan, yaitu suasana seorang salik membuktikan kehadiran Allah dalam hatinya.
Dari ketiga tingkat tersebut bisa dikatakan dalam istilah lain yakni islam itu adalah ibadah, iman adalah ubudiyyah, dan ikhsan adalah abidah. Dari istilah-istilah tersebut diterangkan lagi dan lagi sampai beberapa istilah, yang seolah-olah membuat orang biasa yang mendengar penjelasan tersebut merasa bosan dan jenuh.
Setelah Syekh Ibnu Atho’illah mendengar penjelasan tersebut yang semula beliau yang su’udzon (berprasangka buruk) kepada Syekh Abu Abbas Al-Marsi, beliau berpikir dan merenung bahwa ilmu dan istilah yang telah diterangkan tadi bukan didapat beberapa kitab tetapi langsung dari lautan ilmu Allah.
Secara logika, kalaupun ilmu dan istilah yang diterangkan tadi berasal dari kitab, beliau pasti sudah mengetahui karena beliau telah memahami dan mengerti bahasa-bahasa dan istilah dalam kitab-kitab dan buku-buku.
Tetapi istilah yang diterangkan adalah istilah dan ungkapan yang memang benar dan tidak bisa dibantah yang tidak ada dalam kitab dan buku, tidak bisa dipungkiri bahwa istilah-istilah tersebut berasal langsung dari Allah.
Setelah pengajian selesai, Syekh Ibnu Atho’illah seketika hilang prasangka buruk kepada Syekh Abu Abbas Al-Marsi, malah yang ada adalah cinta dan rindu kepada Syekh Abu Abbas Al-Marsi.
Setelah pulang, beliau merasa tertolak untuk memasuki rumah seolah-olah tidak ada kesenangan untuk memasuki rumah beliau. Malah dalam hati beliau terdapat perasaan aneh yang beliau sendiri tidak mengerti.
Kemudian beliau menyepikan diri sambil memandangi langit. Karena tidak kuat menahan perasaan aneh dalam hati, beliau menyimpulkan bahwa perasaan aneh yang mengikat hati ini tidak akan bisa dilepaskan kecuali oleh Syekh Abu Abbas Al-Marsi.
Syekh Ibnu Atho’illah segera menemui Syekh Abu Abbas Al-Marsi, beliau berkata “Demi Allah, aku mencintaimu Syekh”.
Syekh Abu Abbas Al-Marsi pun menjawab “Semoga Allah mencintaimu seperti layaknya kamu mencintaiku”.
Ya, hal itu merupakan sindiran, layaknya seseorang yang ingin menemui kekasih Allah, pasti ia akan mengawali dengan ucapan salam. Hal itu karena rindu beliau kepada Syekh Abu Abbas Al-Marsi yang tidak bisa ditahan lagi.
Akhirnya beliau memasrahkan hidupnya dan semuanya kepada Syekh Abu Abbas Al-Marsi untuk dituntun, dibimbing, dan diarahkan. Syekh Ibnu Atho’illah wafat pada Bulan Jumadil Akhir pada tahun 709 H, beliau dikebumikan di Desa Qorofi.
Sumber : Penjelasan kitab Al Hikam oleh KH. Jamaluddin Ahmad, Tambakberas, Jombang
Sumber lain : Kitab Tajul 'Arus karya Syekh Ibnu Atho’illah Al-Iskandary, bab pendahuluan.
Tags:
Kisah teladan