Nabi Musa vs Barkho Al-Aswad, Doa Minta Hujan Siapa Yang Dikabulkan Allah ?
PelangiBlog.Com - Diceritakan pada suatu ketika, Bani Israil (umat Nabi Musa as.) dilanda kemarau panjang selama 7 tahun. Tanah tempat tinggal mereka pun menjadi gersang, tumbuhan yang hidup pun banyak yang mati, dan air pun susah didapat. Hal ini menjadikan Bani Israil merasa kesusahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Banyak diantara mereka tidak tahan menjalani cobaan yang diberikan tersebut.
Pada suatu hari pula Nabi Musa as mengajak 70.000 orang dari umatnya untuk melakukan sholat istisqo’ (sholat meminta hujan). Beliau bersama umatnya melakukan sholat istisqo’ ditengah padang pasir yang luas dengan harapan Allah akan menurunkan hujan.
Kemudian Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa “Wahai Musa, bagaimana aku akan mengabulkan doa mereka ? sedangkan diri mereka telah tertutup oleh gelapnya dosa-dosa, hati mereka amatlah buruk, mereka meminta kepadaku dengan tanpa keyakinan, dan mereka merasa nyaman dari ujianku dan siksaku. Temuilah seorang hambaku yang bernama Barkho Al-Aswad, dan mintalah kepadanya agar ia meminta hujan kepadaku sampai aku mengabulkan doanya”.
Nabi Musa pun pergi mencari seorang kekasih Allah yang bernama Barkho Al-Aswad. Namun selama berhari-hari mencari-cari dan bertanya-tanya, tak kunjung beliau menemukannya. Hingga tibalah suatu hari saat beliau berjalan di suatu kota, beliau bertemu dengan seorang yang berkulit hitam.
Orang tersebut memakai pakaian yang sederhana dan dahi bercampur debu yang menandakan bekas-bekas sujud. Seolah tak kan ada seorang pun yang menyangka bahwa ia adalah salah satu kekasih Allah. Dengan nur Allah, Nabi Musa pun mengetahui bahwa orang yang beliau cari saat ini berada di hadapannya.
Nabi Musa as. pun segera mendekat dan mengucapkan salam dan bertanya “Namaku adalah Musa, siapakah nama kamu ?”.
Orang itu pun menjawab “Namaku Barkho”. Nabi Musa berkata “Kamu adalah orang yang aku cari selama ini. Aku telah diperintah Allah untuk menemuimu, berdoalah kepada Allah agar Dia menurunkan hujan untuk umatku yang saat ini dilanda kemarau panjang”. Kemudian Barkho pun berdoa kepada Allah untuk memintakan hujan kepada umat Nabi Musa as.
Dalam munajahnya, Barkho berkata “Wahai tuhanku, apakah kemarau panjang ini adalah perbuatanmu ? Apakah kemarau panjang ini karena ketidak sabaran-Mu ? Apa yang membuat sumber-sumber air-Mu habis ? Ataukah angin sudah tidak lagi taat kepada-Mu ? Ataukah Engkau kebabisan sesuatu ? Ataukah Engkau sangat murka kepada para pendosa ? Bukankah Engkau Maha Pengampun sebelum Engkau menciptakan orang-orang yang berbuat salah ? Engkau menciptakan rahmat (kasih sayang) dan Engkau memerintahkan untuk menyayangi ? Ataukah Engkau menunjukkan kepada kami bahwa Engkau tercegah dan tertolak ? Ataukah Engkau takut kehilangan sesuatu sehingga Engkau mempercepat siksaan ???”.
Dan tidak henti-hentinya Barkho bermunajjah kepada Allah dan dikala itu pula hujan deras mengucur dari langit membasahi Bani Israil, Allah pun menumbuhkan kembali rumput dan tumbuhan yang telah kering dalam waktu setengah hari.
Seusai bermunajjah, Barkho pun kembali ke rumah, sedangkan Nabi musa dengan segera menghampirinya. Barkho pun berkata “Bagaimana menurutmu saat aku mencemooh dan mengejek-ejek Tuhanku, sedangkan Dia membenarkan tindakanku dengan menurunkan hujan ?”.
Nabi Musa pun marah dan hendak memukul Barkho. Namun saat beliau hendak memukul Barkho, Allah memberi wahyu kepada beliau “Wahai Musa, hentikan perbuatanmu. Sesungguhnya Barkho selalu membuatku tertawa sebanyak tiga kali di setiap harinya”. (Setiap hari Barkho selalu melakukan tiga amal atau tindakan yang membuat Allah begitu ridlo kepadanya).
Catatan :
Kisah di atas mengisahkan kekasih Allah, Barkho Al-Aswad, seorang yang dekat dengan Allah, seorang yang di setiap harinya melakukan pekerjaan yang membuat Allah ridlo kepadanya, seorang yang sudah bisa menyelami sari agama islam, seseorang yang hatinya selalu damai dan sejahtera di sisi Allah, dan selalu menyandarkan hatinya di sisi-Nya. Dan doa Barkho yang bernada mengejek Allah di atas tidaklah boleh ditiru dan dijadikan contoh oleh orang seperti kita. Agama yang kita jalani masih sekedar kulit luar islam, tentunya kita tidak pantas berdoa dengan seperti kisah di atas.
Sumber : Kitab Ihya’ Ulumuddin, Juz 4, Bab : Bayanu Maknal Inbisathi wal Idlalil Ladzi Tustammiruhu Gholabatul Unsi.
Penulis : Imam Ghozali.
Tags:
Kisah teladan