Kisah Kholifah Umar bin Khattab Mengadili Putranya, Abu Syahmah, Sampai Mati
Kholifah Umar bin Khattab ra adalah seorang pemimpin yang sangat terkenal akan keadilannya beliau. Sebagai sosok pemimpin juga sebagai hamba yang patuh kepada Tuhannya, beliau bahkan pernah menghukum putra kandung sendiri ketika didapati kesalahan sampai dia meninggal dunia. Yuk kita simak, kisah berikut ini akan menunjukkan tentang keadilan Kholifah Umar bin Khattab ra sebagai pemimpin idaman umat.
Dikisahkan dari Abdul Aziz Al-Hajjaj Al-Khoulani, diceritakan dari Shofwan, diceritakan dari sahabat Ibnu Abbas bahwa Kholifah Umar bin Khattab ra dianugerahi dua putra, yaitu Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) dan Ubaidillah bin Umar (Abu Syahmah). Ubaidillah bin Umar dikenal dengan sapaan Abu Syahmah (karena beliau sangat gemuk, syahmah artinya lemak atau gemuk).
Abu Syahmah adalah seorang yang menjaga Al-Qur’an dan selalu membaca-Nya, bahkan para sahabat menyebutkan bahwa lantunan Al-Qur’an yang dibaca oleh Abu Syahmah sama seperti lantunan Rosulullah SAW.
Pada suatu ketika, Abu Syahmah terbaring di atas ranjang karena penyakit yang dideritanya. Saking parahnya, seolah hanya menunggu waktu saja sampai Allah SWT mengambil ruhnya. Namun, Allah SWT menghendaki apa yang Dia kehendaki, Abu Syahmah pun sembuh dari sakitnya.
Dan pada suatu hari, Abu Syahmah berkeinginan untuk menyegarkan diri setelah sakit panjang yang telah dideritanya, dia pun pergi ke perkampungan orang Yahudi. Namun, sesuatu yang tak pernah disangka terjadi, orang-orang Yahudi memberikannya khamr (arak) yang terbuat dari perasan kurma. Tanpa disadari, Abu Syahmah pun meminumnya. Setelah meminum khamr itu, Abu Syahmah pun kehilangan akal dan mabuk layaknya orang-orang pemabuk. Dalam keadaan mabuk, dia pergi meninggalkan perkumpulan orang Yahudi.
Di tengah perjalanan, Abu Syahmah melewati tembok Bani Najjar yang kebetulan seorang wanita tertidur pulas di samping tembok itu. Abu Syahmah pun mendekatinya dan menggodanya, sedangkan wanita itu berusaha menolaknya. Namun, tiada daya untuk melawan nafsu seorang pria yang kehilangan akal akibat minuman keras.
Ketika Abu Syahmah menyelesaikan apa yang dia perbuat kepadanya, wanita itu memberontak, merobek pakaian Abu Syahmah, dan mencaci makinya. Wanita itu hanya bisa bersabar atas nasib buruk yang menimpanya. Wanita itu menunggu hingga empat bulan dan nampaklah kehamilan, kemudian wanita itu menunggu selama sembilan bulan hingga dia melahirkan seorang bayi laki-laki.
[next]
Beberapa watu kemudian setelah wanita itu pulih dari rasa sakit setelah melahirkan, dia menggendong anak laki-lakinya menuju Masjid Rosulullah SAW di mana pada waktu itu Amirul Mukminin, Kholifah Umar bin Khattab, sedang mengadili rakyatnya. Segera, wanita yang menggendong anak laki-lakinya itu datang menemui Kholifah Umar bin Khattab kemudian meletakkan anak laki-lakinya tepat berada di hadapan Sang Amirul Mukminin.
Wanita itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, bawalah anak laki-laki ini karena kamu lebih berhak atas dia daripada aku !”.
Kholifah Umar bin Khattab pun bertanya, “Wahai jariyah, bagaimana bisa, ini adalah anakmu dan kamu adalah ibunya, sedangkan aku lebih berhak atas anak ini daripadamu ?”.
Wanita itu pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, anak laki-laki ini adalah anak dari putramu !”.
Kholifah Umar bin Khattab pun bertanya, “Dari putraku yang mana ?”.
Wanita itu menjawab, “Dari putramu Abu Syahmah”.
Kholifah Umar bin Khattab pun bertanya, “Apakah halal atau haram ?”.
Wanita itu menjawab, “Demi Allah, dariku halal dan darinya haram”.
Kholifah Umar bin Khattab pun bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi ?”.
Wanita itu menjawab, “Suatu hari aku keluar dari rumahku menuju tembok Bani Najjar untuk menuai sayur, waktu petang pun tiba dan aku tertidur di tempat itu. Kemudian putramu, Abu Syahmah, datang menghampiriku sedangkan dia dalam keadaan mabuk. Dia menggodaku dan aku pun menolaknya, tetapi aku tidak kuasa untuk melawannya. Setelah dia menyelesaikan apa yang dia perbuat terhadapku, aku memberontak, merobek pakaiannya, dan mencaci makinya. Dan sesaat kemudian, aku pulang kerumah sambil bersabar meratapi nasib buruk yang telah menimpaku. Aku menunggu masa haidku, tetapi aku tidak haid, kemudian aku menunggu selama sembilan bulan dan melahirkan anak ini. Maka bawalah anak ini karena kamu lebih berhak atas dia daripada aku. Karena sesungguhnya aku memilih untuk membuka keburukan duniaku daripada keburukan akhiratku !”.
Mendengar cerita itu, Kholifah Umar bin Khattab pun menangis sehingga jenggotnya terbasahi oleh cucuran air mata sambil berkata, “Aduh, alangkah buruknya Umar bin Khattab kelak di hari kiamat di hadapan Allah SWT !!!”. Kemudian Kholifah Umar pun bertanya, “Wahai jariyah, apakah kamu membenarkan hal yang benar, jika kamu memang benar maka aku akan memberikan keadilan kepadamu !”.
Wanita itu pun menjawab, “Apa yang kamu inginkan dariku Wahai Umar ? Demi Allah, aku tidak berdusta atas apa yang telah aku ucapkan ! Sesungguhnya aku benar dan tidak berdusta. Dan jika kamu berkehendak, maka aku akan bersumpah dengan mushaf”.
Kemudian Kholifah Umar bin Khattab mendatangkan Kitab Allah Azza wa Jalla (Al-Qur’an), dan wanita itu pun bersumpah dengan membaca Al-Qur’an dari Surat Al-Baqoroh sampai Surat Yasin. Wanita itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya anak ini adalah anak dari putramu, Abu Syahmah !!!”.
Ketika wanita itu sampai pada Surat Yasin, Kholifah Umar bin Khattab berkata, “Wahai jariyah, demi Allah kamu adalah bernar dan bukan pendusta !”.
Kemudian, Kholifah Umar bin Khattab bergegas berdiri seraya berkata, “Wahai para sahabat Rosulullah SAW, tetaplah kalian berada di sini (tunggulah di sini) sehingga aku kembali kepada kalian !”. Sesaat Kholifah Umar bin Khattab pun pergi dan kembali lagi, sedangkan di tangannya dia membawa uang 30 dinar dan 10 pakaian.
Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Wahai Jariyah, ambillah 30 dinar dan 10 pakaian ini, aku meminta halal atas putraku, Abu Syahmah, di dunia ini. Jika ada sesuatu lain bagimu sebelumnya, maka ambillah darinya (Abu Syahmah) di tempat berdiri (di hari kiamat) di hadapan Allah !”.
Wanita itu pun menerima apa yang diberikan Kholifah Umar bin Khattab kepadanya, dia pun segera pergi bersama anaknya.
[next]
Sesaat kemudian, Kholifah Umat bin Khattab berkata, “Wahai para sahabat Rosulullah SAW, tetaplah kalian berada di sini (tunggulah di sini) sehingga aku kembali kepada kalian !”. Kholifah Umar bin Khattab pun pergi pulang ke rumahnya.
Ketika masuk rumah, Kholifah Umar bin Khattab pun berkeliling di sekitar putranya, Abu Syahmah, yang saat itu sedang makan sembari menyapa, “Assalamu’alaikum wahai anakku !”.
Abu Syahmah pun menjawab, “Wa’alaikas salam, mendekatlah kepadaku dan makanlah bersamaku !”.
Melihat putranya yang sedang makan, Kholifah Umar pun berkata, “Makanlah wahai anakku, sedangkan aku tidak mengira kecuali ini adalah akhir dari bekalmu di dunia !”.
Terkejut, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai ayahku, siapa yang memberitahumu atas hal itu. Sedangkan Rosulullah SAW sudah wafat, wahyu telah terputus dari langit, dan tidak ada wahyu setelah Rosulullah ?”.
Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Aku tidak mengetahuinya, tetapi wahai anakku, dari dosa yang telah kamu lakukan dan dari maksiat yang telah kamu perbuat !”.
Abu Syahmah pun berkata, “Aku tidak melakukan maksiat dan aku juga tidak melakukan dosa. Jika seseorang telah menyampaikannya padamu, maka tanyakanlah (apa dosa itu) padaku karena sesungguhnya aku tidak menyimpan sesuatu apapun darimu !”.
Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Wahai anakku, aku bertanya padamu demi Tuhan yang melihat dan Dia tidak dilihat, dan Dia adalah Tuhan yang Maha Mangawasi, kecuali apakah kamu pada suatu hari berjalan melewati perkampungan orang-orang Yahudi dan kamu bertamu kepada mereka, kemudian mereka memberimu minuman khamr (arak) dari perasan kurma, kamu meminumnya sehingga kamu mabuk, kemudian kamu pergi dari mereka (perkampungan itu), kamu berjalan melewati tembok Bani Najjar, kemudian kamu melihat seorang wanita yang sedang tertidur, kamu menggodanya dan dia menolak tetapi dia tidak kuasa atas hal itu. Ketika kamu menyelesaikan apa yang kamu perbuat terhadapnya, dia memberontak, merobek pakaianmu, dan mencaci makimu. Wanita itu kemudian pulang ke rumahnya ???”.
[next]
Ketika Abu Syahmah mendengar perkataan Amirul Mukminin, dia hanya bisa menundukkan kepala karena malu kepada ayahnya, dia bahkan tidak menjawab dan tidak mengatakan sepatah katapun.
Kholifah Umar bin Khattab pun bertanya, “Wahai anakku, bicaralah, jika kamu berkata benar maka kamu selamat, jika kamu berkata dusta maka kamu hancur !”.
Abu Syahmah pun menjawab, “Wahai ayahku, apa yang kamu katakan itu adalah perbuatanku, tetapi aku sangat menyesal pada puncak penyesalan”.
Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Wahai anakku, penyesalan tidak akan berguna setelah kerugian (di akhirat). Dan sesungguhnya kamu adalah putra dari seorang amirul mukminin, seseorang tidak akan kuasa mengatakan apapun kepadamu, dan kamu ingin menampakkan keburukanku di hadapan para sahabat Rosulullah SAW”.
Kholifah Umar bin Khattab pun pun segera berdiri, kemudian dia mengikat tangan Abu Syahmah. Sedangkan Abu Syahmah yang dibuatnya terkejut pun bertanya, “Apa yang kamu ingin kamu lakukan terhadapku, wahai ayahku ? ke mana kamu akan membawaku ?”.
Kholifah Umar bin Khattab pun menjawab, “Kepada para sahabat Rosulullah SAW, aku akan mengambil hak Allah darimu di dunia sebelum Allah mengambilnya di akhirat !”.
Abu Syahmah pun berkata, “Aku meminta padamu, wahai ayahku, ambillah hak itu di tempat ini, dan jangan kamu menampakkan keburukanku di hadapan para sahabat Rosulullah SAW !”.
Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Wahai anakku, kamu sendiri yang telah menampakkan keburukan dirimu sendiri dan keburukan ayahmu”.
Meskipun demikian, Kholifah Umar bin Khattab tetap membawa Abu Syahmah menuju para sahabat Rosulullah SAW. Dan tidak hentinya beliau membawa putranya sehingga menghentikannya di hadapan para sahabat Rosulullah SAW. Para sabahat pun terkejut sambil berkata, “Apa yang ada dibelakangmu wahai Umar ?”.
Kholifah Umat bin Khattab pun menjawab dengan tegas, “Wahai golongan muslimin, ketahuilah bahwa anakku, Abu Syahmah, telah mengakui dosanya, sesungguhnya jariyah itu benar dan bukan pendusta”.
[next]
Kemudian, Amirul Mukminin, Kholifah Umar bin Khattab memanggil seorang pelayan yang bernama Muflih. Beliau berkata, “Wahai Muflih, pada hari ini benar-benar beruntung orang yang menang, cambuklah dia ! Kamu (Muflih) telah merdeka karena Dzat Allah”.
Muflih pun berkata, “Wahai tuanku, bagaimana bisa aku mencambuknya, jika aku mencambuk unta maka aku akan membunuhnya, atau tembok maka aku akan merobohkannya !”.
Kholifah Umar bin Khattab berkata lebih tegas, “Tinggalkan perkataanmu (diamlah), ambillah cambukmu dengan tangnmu dan pukulkan cambuk itu di punggungnya sehingga kepedihan merasuk sampai ke perutnya. Jika dia mati maka itu sudah menjadi ajalnya, jika dia masih hidup maka dia tidak akan kembali kepada dosa selamanya !”.
Muflih pun mengambil cambuk dengan tangnnya, dia menghadap kepada Abu Syahmah dan berkata, “Wahai tuanku, janganlah kamu mencelaku dan celalah dirimu sendiri di hadapan Allah. Tuanku, Umar, telah benar-benar memerintahku untuk memukulmu !”.
Dengan hati yang tulus dan rela, Abu Syahmah berkata, “Wahai Muflih, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu !”. Muflih pun berteriak, “Ini adalah balasan bagi orang yang bermaksiat kepada Tuhannya dan meremehkan dosanya”.
Kemudian Muflih pun mengangkat tangannya yang memegang cambuk sehingga terlihat ketiaknya, kemudian dia mencambuk Abu Syahmah sebanyak 10 cambukan, sedangkan Abu Syahmah berkata, “Wahai ayahku, telah menyala api neraka di dalam tubuhku”.
Dengan hati yang begitu sedih, Kholifah Umar bin Khattab berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya di dalam tubuh ayahmu lebih panas dari api neraka yang ada ditubuhmu. Pukullah dia, wahai Muflih !”.
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 20 cambukan. Dengan menahan rasa sakit, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai Ayahku, tinggalkan aku, aku meminta istirahat !”.
Dengan perasaan berat, Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Wahai anakku, jika penghuni neraka di dalam neraka, ketika mereka meminta istirahat dan mereka mendapatkannya, maka aku akan memberikanmu istirahat. Pukullah dia wahai Muflih !”.
[next]
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 30 cambukan. Dengan menahan rasa sakit, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai Ayahku, aku meminta padamu, demi Allah, tinggalkan aku, aku akan bertaubat !”.
Dengan perasaan berat, Kholifah Umar bin Khattab pun berkata, “Wahai anakku, jika aku mengambil hak Allah darimu, maka jika kamu menghendaki maka bertaubatlah, jika kamu menghendaki maka kembalilah. Tetapi jika kamu kembali kepada perbuatan keji itu, maka bagimu hukuman seperti ini. Wahai Muflih, cambuklah dia”.
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 40 cambukan. Dengan menahan rasa sakit, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai Ayahku, aku meminta padamu, demi Allah, berilah aku minum seteguk air yang bisa mendinginkan panas di dalam jantungku !”.
Meskipun tidak tega, Kholifah Umar bin Khattab tetap berkata, “Wahai anakku, jika saja penghuni siksaan di dalam neraka, tatkala mereka meminta minuman dingin (yang mampu mendinginkan mereka) dari kesalahan dan mereka meminumnya, maka aku akan memberikanmu minuman. Cambuklah dia wahai Muflih !”.
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 50 cambukan. Dengan menahan rasa sakit, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai Ayahku, aku meminta padamu, demi Allah, kasihanilah aku !”.
Meskipun sangat berat hati, Kholifah Umar bin Khattab tetap berkata, “Wahai anakku, rasa kasihan yang kamu dapatkan di dunia (atas hukuman ini) tidak akan menjadikanmu mendapatkan kasih sayang (dari Allah SWT) kelak di akhirat. Cambuklah dia wahai Muflih !”.
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 60 cambukan. Dengan menahan rasa sakit, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai Ayahku, aku meminta padamu, demi Allah, mendekatlah padaku, berilah aku pelukamu sebelum kematianku !”.
Meskipun hati yang begitu sedih karena tak tega, Kholifah Umar bin Khattab tetap berkata, “Wahai anakku, jika kamu masih hidup maka aku akan memelukmu, jika kamu meninggal maka kita akan bertemu kelak di atas shirath (jembatan menuju surga). Cambuklah dia wahai Muflih !”.
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 70 cambukan. Tak kuasa lagi menahan rasa sakit, Abu Syahmah pun berkata, “Wahai Ayahku, telah turun kepadaku kematian !”.
Meskipun hati yang begitu sedih karena tak tega, Kholifah Umar bin Khattab tetap berkata, “Wahai anakku, jika kamu melihat Rosulullah SAW, maka katakanlah kepada beliau sesungguhnya ayahku, Umar bin Khattab, memukulku sehingga dia membunuhku. Cambuklah dia wahai Muflih !”.
[next]
Kemudian, Muflih pun memukulnya sebanyak 80 cambukan. Kemudian Abu Syahmah mengangkat kepalanya dan berteriak dengan kencang, “Wahai para sahabat Rosulullah, mengapa kalian tidak meminta kepada ayahku untuk memaafkanku !”.
Mendengar hal yang demikian, para sahabat Rosulullah SAW merasa sangat iba kemudian mereka menghadap kepada Kholifah Umar bin Khattab seraya berkata, “Wahai amirul mukminin, kasihanilah anak ini, dan lihatlah apa yang tersisa dari cambuk itu ?”.
Namun, tetap saja Kholifah Umar bin Khattab teguh dalam menegakkan hukum Allah, “Wahai para sahabat Rosulullah, apakah kamu sekalian tidak membaca di dalam Kitab Allah Yang Mulia :
وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ
Artinya :“Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya (laki-laki dan perempuan berzina yang dikenakan qishos) mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah” (Surat An-Nur : 2).
Kemudian Kholifah Umar bin Khattab berkata, “Wahai Muflih, cambuklah dia !”.
Muflih pun memukulnya sebanyak 90 cambukan. Kemudian Abu Syahmah mengangkat kepalanya dan berteriak dengan kencang, “Assalamu’alaikum, wahai para sahabat Rosulullah, salam perpisahan yang tidak akan kembali sampai pada hari kiamat !”.
Mendengar kata terakhir Abu Syahmah, para sahabat Rosulullah SAW menangis dengan keras. Sedangkan Kholifah Umar bin Khattab tetap berkata menskipun dengan hati yang sangat sedih, “Pukullah wahai Muflih, tidak ada yang tersisa dari hak Allah yang Maha Luhur (tinggal 10 cambukan lagi) !”.
Muflih pun mencambuk sebanyak 100 cambukan, kemudian Kholifah Umar bin Khattab berkata, “Wahai Muflih, angkatlah cambukmu dari anakku (jauhkan cambuk itu dari tubuhnya) !”.
[next]
Muflih pun menjauhkan cambuk itu dari tubuh Abu Syhamah, kemudian dia menggerak-gerakkan Abu Syahmah, namun Abu Syahmah telah meninggal dunia.
Melihat suasana hening itu, Kholifah Umar bin Khattab pun bergegas untuk berdiri dan berkata, “Wahai golongan muslimin, ketahuilah bahwa anakku, Abu Syahmah, telah meninggal dunia, demi Tuhan Ka’bah !”.
Para Sahbat Rosulullah pun bergegas mendatangi jenazah Abu Syahmah dari segala arah dan tempat sehingga suasana masjid pun dipenuhi oleh orang-orang yang sedang menangis. Kemudian ibu Abu Syahmah mendatangi jenazah putranya dan berkata, “Wahai anakku, aku mengucapkan perpisahan di sekitar orang yang tidak akan kecewa atas perpisahan itu !”.
Di saat itu pula, Kholifah Umar bin Khattab menggendong putranya, Abu Syahmah, menuju rumah. Beliau memandikan, mengakafi, menyolati, dan mengubur putranya.
Pada suatu hari setelah kejadian itu, sahabat Ibnu Abbas ra bermimpi bertemu Rosululah SAW, yang kemudian dia menceritakan mimpinya, “Aku melihat Rosulullah SAW di dalam mimpi, beliau seperti bulan purnama yang sempurna, dan beliau mengenakan pakaian putih. Sedangkan Abu Syahmah berada di sisi Rosulullah SAW, dia mengenakan pakaian hijau. Kemudian aku mendatangi Rosulullah SAW, aku mengucapkan salam kepada beliau dan mencium di antara kedua mata beliau. Kemudian Rosulullah berkata kepadaku, “Wahai anak dari pamanku, sampaikan salamku kepada Umar, dan katakan kepadanya bahwa Rosulullah berkata kepadamu, “semoga Allah membalasmu dariku dengan segala kebaikan sebagaimana kamu tidak menyia-nyiakan hak Allah sesudahku, ketenangan dan kenikmatan bagimu wahai Umar, dan sesuatu yang telah disediakan Allah untukmu, gedung-gedung dan kamar-kamar di surga na’im (kenikmatan), dan sesungguhnya anakmu, Abu Syahmah, telah mencapai di tempat kebenaran di sisi Raja (Allah) yang Maha Kuasa !”””.
Sahabat Ibnu Abbas berkata, “Kemudian aku terbangun, aku senang lagi bahagia atas apa yang telah tampak dari keindahan Rosulullah SAW, kemudian aku menghidupkan malam itu dengan melakukan sholat malam sampai subuh. Kemudian aku datang ke masjid sedangkan pada waktu itu Kholifah Umar bin Khattab dikelilingi jamaah para sahabat Rosulullah SAW, beliau menceritakan Kitab Allah (Al-Qur’an). Setelah beliau selesai, aku berkata, “Wahai Umar, aku telah benar-benar melihat Baginda orang-orang awal dan orang-orang akhir, Rosulullah SAW, beliau mengenakan pakaian putih sedangkan Abu Syahmah berada di sisi beliau dengan mengenakan pakaian hijau. Kemudian aku mendatangi Rosulullah SAW, aku mengucapkan salam, beliau berkata kepadaku, “Wahai anak dari pamanku, sampaikan salamku kepada Umar, dan katakan kepadanya bahwa Rosulullah berkata kepadamu, “semoga Allah membalasmu dariku dengan segala kebaikan sebagaimana kamu tidak menyia-nyiakan hak Allah sesudahku, ketenangan dan kenikmatan bagimu wahai Umar, dan sesuatu yang telah disediakan Allah untukmu, gedung-gedung dan kamar-kamar di surga na’im (kenikmatan), dan sesungguhnya anakmu, Abu Syahmah, telah mencapai di tempat kebenaran di sisi Raja (Allah) yang Maha Kuasa !”””.
Kitab Tanqikhul Qoul (syarakh dari Kitab Lubabul Hadist oleh Imam Jalaluddin Abdur Rohman bin Abu Bakar As-Suyuthi), Bab. Kisah Baginda Kita Abu Syahmah.
Penulis :
Sykeh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Banteni (Syekh Nawawi Al-Banteni).
Tags:
Kisah teladan