Kisah Abu Nawas, Doa Merayu Tuhan
Abu Nawas merupakan sosok ulama’ yang sangat alim, beliau hidup pada masa Kekholifahan Abbasiyyah, tepatnya pada masa kholifah Harun Ar-Rasyid. Abu Nawas dikenal di seluruh penjuru dunia sebagai sosok yang cerdik, bijaksana, shufi, dan cukup humoris. Sebagaimana kisah beliau berikut ini :
Dalam sebuah pengajaran oleh Abu Nawas, ada satu dari sekian banyak murid-murid beliau sering mengajukan pertanyaan tentang sepak terjang beliau yang diangap cukup unik. Pada suatu hari, ada 3 orang tamu mendatangi Abu Nawas dan bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Tamu pertama bertanya, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil ?”.
Abu Nawas pun menjawab, “Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil”.
Tamu pertama pun bertanya lagi, “Mengapa demikian ?”.
Abu Nawas pun menjawab, “Karena dosa-dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Tuhan”.
Tamu pertama pun merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh Abu Nawas. Sesaat kemudian, tamu kemudian pun mengajukan pertanyaan yang sama.
Tamu kedua bertanya, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil ?”.
Abu Nawas pun menjawab, “Orang yang tidak mengerjakan keduanya”.
Tamu kedua bertanya lagi, “Mengapa demikian ?”
Abu Nawas pun menjawab, “Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu saja orang itu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan”.
Tamu Kedua pun merasa puas dengan jawaban itu. Dan sesaat kemudian, tamu ketiga memberikan pertanyaan yang sama kepada Abu Nawas.
Tamu Ketiga bertanya, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil ?”.
Abu Nawas pun menjawab, “Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar”.
Tamu ketiga pun bertanya lagi, “Mengapa demikian ?”
Abu Nawas pun menjawab, “Karena ampunan Tuhan kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa-dosa orang itu”.
Tamu ketiga pun merasa puas dengan jawaban yang diberikan Abu Nawas. Ketiga tamu itu pun lekas pulang dengan jawaban yang memuaskan.
Salah seorang murid yang kurang mengerti pun mengajukan pertanyaan kepada gurunya, Abu Nawas.
Si murid bertanya, “Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”
Abu Nawas pun menjawab, “Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati”.
Si murid bertanya lagi, “Apa tingkatan mata itu ?”
Abu Nawas pun menjawab, “Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata”.
Si murid bertanya lagi, “Apakah tingkatan otak itu ?”
Abu Nawas pun menjawab, “Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan”.
Si murid bertanya lagi, “Lalu apakah tingkatan hati itu ?”.
Abu Nawas pun menjawab, “Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit, dia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan kebesaran Allah SWT”.
Si murid pun mulai memahami apa yang telah ditanyakan oleh ketiga tamu sebelumnya. Dengan satu pertanyaan, bisa menghasilkan 3 jawaban yang berbeda.
Si murid pun bertanya lagi, “Mungkinkah manusia bisa merayu Tuhan ?”
Abu Nawas pun menjawab, “Mungkin”.
Si Murid bertanya lagi, “Bagaimana caranya ?”.
Abu Nawas pun menjawab, “Dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa”.
Si murid pun berkata, “Ajarkanlah doa itu padaku, wahai guru !”.
Kemudian, Abu Nawas mengajari doa merayu Tuhan kepada muridnya, sebagaimana berikut ini :
اِلٰهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً - وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الْجَحِيْمِ
"Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga - Namun aku tidak kuat atas siksa neraka"
فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ - فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
"Maka terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku - Sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang mengampuni dosa besar"
ذُنُوْبِيْ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ - فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَاذاَ الْجَلاَلِ
"Dosa-dosaku seumpama sejumlah pasir - Maka terimalah taubatku wahai Tuhan yang memiliki Keagungan"
وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ - وَذَنْبِيْ زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
"Dan umurku selalu berkurang di setiap harinya - Sedangkan dosaku selalu bertambah, bagaimana aku akan menanggungnya ?"
إِلهِٰيْ عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ - مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
"Wahai Tuhanku, hamba-Mu yang berbuat maksiat telah datang kepada-Mu - Dengan mengakui dosa-dosa, dan dia memohon kepada-Mu"
فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ - فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
"Jika Engkau mengapuni, maka Engkau adalah Tuhan yang Maha Pengampun - Tetapi jika Engkau menolak, maka kepada siapa lagi kami akan mengharap kepada selain diri-Mu ?"
Tambahan :
Tambahan syair doa ini biasanya, ada di dalam kitab majmuk sholawat. Ini adalah sya'ir Imam Syafi'i mengadu kepada gurunya, Imam Al-Waki' ketika beliau masih menjadi santri :
شَكَوْتُ اِلَى وَكِيْعٍ سُوْءَ حِفْظِيْ - فَأَرْشَدَنِيْ اِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
"Aku mengadu kepada Al-Waki' tentang buruknya hafalanku - Kemudian dia memberiku petunjuk untuk meninggalkan maksiat".
وَاَخْبَرَنِيْ بِاَنَّ الْعِلْمَ نُوْرٌ - وَنُوْرُ اللهِ لَا يُهْدٰى لِلعَاصِي
"Dan dia mengabarkanku bahwa sesungguhnya ilmu adalah nur - Dan nur Allah tidaklah dihidayahkan kepada orang yang berbuat maksiat".