Hukum Menangis dan Meratapi (Niyahah) Orang Yang Meninggal Dunia
Kepergian seseorang yang dicintai dari kehidupan dunia merupakan sebuah musibah yang pasti akan dirasakan setiap orang, karena mau tidak mau, tidak ada keabadian di dunia, keabadian hanyalah milik Allah SWT, dan setiap yang memiliki nyawa pasti akan merasakan maut.
Namun, besarnya rasa cinta dan kasih sayang, terkadang menghanyutkan perasaan seseorang akibat ditinggal pergi orang yang ia cintai menuju alam kematian, sehingga ia larut dalam kesedihan mendalam, tangis, dan ratapan penderitaan.
Nah, bertolak dari sinilah, dalam agama Islam mengenal 2 istilah yang kerap diperbincangkan kebolehan atau tidaknya akibat kesedihan atas seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu menangis dan meratapi. Keduanya memang memiliki kesamaan tetapi ada sedikit perbedaan, apalagi dalam segi hukum. Lalu apa hukum menangis dan meratapi kematian seseorang ?.
Menangisi Seseorang Yang Telah Meninggal Dunia
Menangis di sini merupakan ekspresi kesedihan seseorang dengan diluapkan melalui cucuran air mata tanpa bisa dibendung. Luapan air mata yang menetes-netes merupakan bentuk kasih sayang di dalam hati, ini adalah hal yang manusiawi tentunya.
Meratapi Seseorang Yang Telah Meninggal Dunia
Dalam agama Islam, meratapi kematian seseorang lebih dikenal dengan sebutan "an-niyahah" (النِّيَاحَةُ) yang secara bahasa berarti ratapan atau jeritan.
Adapun pengertian an-niyahah sebagaimana telah dijelaskan dalam Kitab Tanqihul Qoul, Bab 39, yang ditulis oleh Imam Nawawi Al-Banteni :
اَنَّ النِّيَاحِةَ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالنَّدْبِ، وَالنَّدْبُ تَعْدِيْدُ النَّادِبَةِ بِصَوْتِهَا مَحَاسِنَ الْمَيِّتِ
"Sesungguhnya "niyahah" adalah mengeraskan suara dengan "nadb" (ratapan kesedihan), sedangkan "nadb" adalah bentuk memperhitungkan kebaikan mayit oleh seorang wanita yang meratapi dengan suaranya".
Sedangkan, penjelasan terkait apa saja prilaku yang termasuk meratapi (niyahah) mayit di dalam Kitab Tanqihul Qoul, Bab 39, bisa dilihat sebagaimana berikut :
وَالنَّوْحُ وَهُوَ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالنَّدْبِ، وَمِثْلُهُ اِفْرَاطُ رَفْعِهِ بِالْبُكَاءِ وَاِنْ لَمْ يَتَقَرَّنْ بِنَدْبٍ وَلَانَوْحٍ، وَضَرْبُ نَحْوِ الْخَدِّ، وَشَقُّ نَحْوِ الْجَيْبِ، وَنَشْرُ الشَّعْرِ وَحَلْقِهِ وَنَتْفِهِ، وَيَسْوِيْدُ الْوَجْهِ، وَاِلْقَاءُ الرَّمَادِ عَلَى الرَّأْسِ، وَالدُّعَاءُ بِالْوَيْلِ وَالثُّبُوْرِ اَيِ الْهَلَاكِ، وَكُلُّ شَيْئٍ فِيْهِ تُغَيِّرٌ لِلزِّيِّ كَلَبْسِ مَالَا يَعْتَادُ لَبْسُهُ اَصْلًا وَكَتَرْكِ شَيْئٍ مِنْ لِبَاسِهِ وَالْخُرُوْجُ بِدُوْنِهِ عَلَى خِلَافِ الْعَادَةِ
"Nauh (niyahah) adalah mengeraskan suara dengan ratapan kesedihan, contohnya adalah melebih-lebihkan dalam mengeraskan suara dengan tangisan dan meskipun tanpa disertai ratapan dan tidak pula jeritan, (contoh lain) memukul ke arah pipi, merobek ke arah lengan saku, menghambur-hamburkan rambut, memotong rambut, dan mencabuti rambut, menjadikan hitam wajah, menuangkan debu pada kepala, berdoa celaka dan binasa yaitu kerusakan, dan setiap sesuatu yang di dalamnya merubah gaya pakaian seperti memakai pakaian yang tidak biasa dipakai, seperti meninggalkan sesuatu yang biasa dipakai, dan keluar tanpa pakaian karena menyeleweng kebiasaan".
Nah, dari pengertian dan prilaku-prilaku yang mencerminkan tindakan meratapi mayit (niyahah) di atas, maka kita pun bisa menyimpulkan bahwa prilaku-prilaku tersebut didasari karena perasaan sedih berlebihan, perasaan tidak menerima takdir Allah SWT, putus asa, depresi dan frustasi, emosi berlebihan, atau bahkan prilaku yang dibuat-buat yang menyalahi kebiasaan.
Hukum Menangisi dan Meratapi (Nihayah) Kematian Seseorang
Para ulama' bersepakat bahwa menangis setelah kematian seseorang merupakan wujud rohmat dan kasih sayang di dalam diri, sehingga hal itu DIPERBOLEHKAN, ini merupakan hal yang manusiawi.
Sedangkan meratapi mayit (niyahah), para ulama' menghukumi HARAM, bahkan dinilai bahwa niyahah adalah adat orang-orang jahiliyyah sebagaimana Rasulullah SAW bersabda :
النِّيَاحَةُ عَمَلٌ مِنْ أَعْمَالِ الْجَاهِلِيَّةِ
"Meratapi (mayit) adalah satu perbuatan dari perbuatan-perbuatan orang jahiliyah".
Dalam Kitab Daqoiqul Akhbar, Bab 14, yang ditulis oleh Imam Abdur Rochim bin Ahmad Al-Qodli, dijelaskan sebagaimana berikut ini :
Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi berkata, "Meratapi mayit adalah haram, dan tidak apa-apa menangisi mayit, namun sabar lebih utama".
Melanjutkan dalam Kitab Daqoiqul Akbar, Bab 14, dijelaskan perbedaan hukum antara menangisi mayit dan meratapi mayit (niyahah) sebagaimana hadist Nabi SAW berikut ini :
اَنَّهُ لَمَّا مَاتَ اِبْنُهُ اِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ دَمَعَتْ عَيْنَاهُ، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمٰنِ ابْنُ عَوْفٍ : يَارَسُوْلَ اللّٰهِ اَلَيْسَ قَدْ نَهَيْتَنَا عَنِ الْبُكَاءِ ؟ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامُ : اِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الصَّوْتَيْنِ الْفَاجِرَيْنَ الْاَحْمَقَيْنِ، وَهُمَا صَوْتُ النَّوْحِ وَالْغِنَاءِ، وَعَنْ خَدَشِ الْوُجُوْهِ وَشَقِّ الْجُيُوْبِ، وَلٰكِنْ هٰذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللّٰهُ تَعَالٰى فِيْ قُلُوْبِ الرُّحَمَاءِ، ثُمَّ قَالَ : الْقَلْبُ يَحْزَنُ وَالْعَيْنُ تَدْمَعُ
"Bahwasanya ketika putra Nabi SAW, Ibrahim as, wafat, maka bercucurlah air mata Beliau. Lalu Sahabat Abdur Rohman bin Auf bertanya kepada Nabi SAW, "Bukankah Engkau telah melarang kami menangis ?". Nabi SAW pun menjawab, "Sesungguhnya aku melarang kalian dari 2 suara yang menyimpang (buruk) lagi bodoh, keduanya adalah suara ratapan mayit dan nyanyian. (Dan aku melarang) mencakar wajah dan merobek lengan saku. Tetapi tangisan ini adalah rohmat yang dijadikan Allah Yang Maha Luhur di dalam hati orang-orang yang menyayang. Kemudian Nabi SAW bersabda, "Hati bersedih sedangkan mata bercucuran air mata"".
Diriwayatkan pula dari Sahabat Wahab bin Kaisan ra :
اِنَّ عُمَرًا نَصَرَ اِمْرَأَةً تَبْكِى عَلَى الْمَيِّتِ فَنَهَاهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ : دَعْهَا يَااَبَا حَفْصٍ، فَاِنَّ الْعَيْنَ بَاكِيَةٌ وَالنَّفْسَ مُصَابَةٌ وَالْعَهْدَ حَدِيْثٌ
"Sesungguhnya Sahabat Umar bin Khattab melihat seorang wanita yang menangisi mayit, Sahabat Umar bin Khattab pun melarangnya. Lalu Nabi SAW bersabda, "Tinggalkan dia Wahai Abu Hafs, karena sesungguhnya mata menangis, jiwa terkena musibah, dan masa adalah sesuatu yang baru terjadi".
Dasar-Dasar Meratapi Mayit (Nihayah) Adalah Haram
Adapun dasar dari hadist, maka sangatlah banyak sekali sebagaimana beberapa hadist berikut yang diambil dari Kitab Lubabul Hadist, Bab 39, yang ditulis oleh Syekh Jalaluddin Kamluddin As-Suyuthi :
Rasulullah SAW bersabda :
لَعَنَ اللهُ النَّائِحَةَ وَالْمُسْتَمِعَةَ وَالْحَالِقَةَ وَالخَارِقَةَ وَالشَّاقَّةَ وَالسَّالِغَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالسَّلْطَاءَ والْمَرْطَاءَ
“Allah melaknati wanita yang meratapi mayit, wanita yang mendengarkan (ratapan itu), wanita yang mencukur (rambutnya ketika musibah), wanita yang menyobek (pakaiannya ketika musibah), wanita yang membedah (kerah pakaiannya), wanita yang mencakar (wajahnya), wanita yang membuatkan tato, wanita yang bertato, wanita yang berteriak, dan wanita yang mencabuti (rambutnya ketika musibah)”.
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ خَرَقَ بِيَدِهِ جَيْبًا أَوْخَدَشَ خَدًّا أَوْضَرَبَهُ أَوْ نَاحَ عِنْدَ الْمُصِيْبَةِ كَانَ عَاصِيًا لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهِ
“Barang siapa merobek kerah pakaiannya, atau mencakar pipnya, atau memukul pipinya, atau meratapi ketika musibah, maka dia adalah orang yang bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya”.
Rasulullah SAW bersabda :
تَجِيْءُ النَّائِحَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَعْثَاءَ غَبْرَاءَ عَلَيْهَا جِلْبَابٌ مِنْ نَارٍ وَتَضَعُ يَدَهَا عَلَى رَأْسِهَا وَتَقُوْلُ وَاوَيْلَاهْ
“Wanita yang meratapi (atas mayit) akan datang di hari kiamat dalam keadaan kusut (rambut dan badannya) lagi berdebu, dia berselimut dari api, dia meletakkan tangannya di atas kepalanya, dan berkata, “Aduh, celakalah aku””.
Wallahu a'lam bis showab,