Hukum Membaca Takbir dan Tahlil Surat Dhuha Sampai Surat An-Nas
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti sering melihat atau bahkan mendengar bahwa setelah membaca Surat Ad-Dhuha biasanya diakhiri dengan membaca kalimat thayyibah, yaitu tahlil, takbir, dan tahmid, seperti itu seterusnya sampai Surat An-Nas. Adapun kalimatnya adalah sebagai berikut ini :
لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاللّٰهُ اَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
"Tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, dan hanya milik Allah segala puji".
Ya, demikian itulah ternyata sudah menjadi budaya yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Dan ternyata, seperti demikian itulah yang sudah diajarkan oleh para guru agama, para guru-guru madrasah diniyyah, para ustadz, dan para kyai tentunya.
Nah, dari sinilah muncul sebuah pertanyaan "Bagaimana hukumnya membaca kalimat tahlil, kalimat takbir, dan kalimat tahmid pada saat usai membaca Surat Ad-Dhuha sampai Surat An-Nas". Pertanyaan seperti itu wajar bagi orang yang belum terbiasa atau bagi orang yang belum mengerti dasar dan asal-usul sejarahnya.
Hukum Membaca Tahlil, Takbir, dan Tahmid di Surat Ad-Dhuha Sampai An-Nas
Yang jelas membaca kalimat tahlil, kalimat takbir, dan kalimat tahmid seperti di atas pada setiap usai membaca Surat Ad-Dhuha sampai Surat An-Nas, hukumnya adalah SUNNAH. Demikian inilah hukum yang telah ditetapkan oleh para ulama'. khususnya para ulama' ahl qiraah.
Sejarah Sunnahnya Membaca Tahlil, Takbir, dan Tahmid di Surat Ad-Dhuha Sampai An-Nas
Adapun dasar yang bisa merujuk pada asal-usul sejarah pembacaan kalimat tahlil, kalimat takbir, dan kalimat tahmid seperti di atas pada setiap usai membaca Surat Ad-Dhuha sampai Surat An-Nas sudah dijelaskan di dalam beberapa kitab kuning karya para ulama' dulu. Salah satunya yang akan dibahas pada posting kali ini adalah Kitab Hidayatul Mustafid, pada fasal sebelum akhir yaitu Penjelasan Tentang Takbir, Sebab, Bentuk, Awal, dan Akhirnya, karya Syekh Muhammad Al-Mahmud ra, sebagai berikut ini penjelasannya :
وَسَبَبُهُ اَنَّ الْوَحْيَ اَبْطَأَ اَوْ تَأَخَّرَ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَيَّامًا، قِيْلَ اثْنَا عَشَرَ يَوْمًا وَقِيْلَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَقِيْلَ اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، فَقَالَ الْمُشْرِكُوْنَ تَعَنُّتًا وَعَدُوًّا اِنَّ مُحَمَّدًا وَدَّعَهُ رَبُّهُ وَقَلَاهُ اَيْ اَبْغَضَهُ وَهَجَرَهُ، فَجَاءَهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَاَلْقٰى عَلَيْهِ وَالضُّحٰى وَاللَّيْلِ اِلَى اٰخِرِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ قِرَأَةِ جِبْرِيْلَ لَهَا اللّٰهُ اَكْبَرُ تَصْدِيْقًا لِمَا كَانَ يَنْتَظِرُ مِنَ الْوَحْيِ وَتَكْذِيْبًا لِلْكُفَّارِ وَقِيْلَ غَيْرُ ذٰلِكَ
"Penyebabnya (pembacaan kalimat takbir pada usai Surat Ad-Dhuha) adalah wahyu pernah datang telat dan akhir pada Rasulullah SAW selama beberapa hari, dikatakan (dalam sebuah riwayat) selama 12 hari, dikatakan (dalam sebuah riwayat lain) selama 15 hari, dan dikatakan (dalam sebuah riwayat) selama 40 hari. Lalu orang-orang musyrik berkata untuk membuat susah dan memusuhi, bahwa Nabi Muhammad SAW telah ditinggalkan, dibenci atau dimurkai, dan ditiggal pergi oleh Tuhannya. Lalu datanglah Malaikat Jibril as membacakan kepada Beliau Surat Ad-Dhuha "وَالضُّحٰى وَاللَّيْلِ" dan seterusnya. Nabi Muhammad SAW pun mengatakan "اللّٰهُ اَكْبَرُ" (Allah Maha Besar) ketika Malaikat Jibril sedang membaca untuk membenarkan atas wahyu yang telah Beliau nantikan dan mendustakan orang-orang kafir. Dikatakan (dalam riwayat lain, bahwa alasannya) bukan membenarkan dan mendustakan".
Dari penjelasan di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW pernah merasakan gelisah karena menanti wahyu dari Allah SWT yang tak kunjung diturunkan kepada Beliau. Para ulama' berbeda pendapat dalam hal ini, ada yang mengatakan bahwa wahyu tidak turun selama 12 hari, ada yang mengatakan selama 15 hari, dan ada pula yang mengatakan selama 40 hari.
Pada masa-masa gelisah itulah orang-orang kafir melontarkan perkataan hoax untuk menyulut kesusahan Rasulullah SAW dan memusuhi Beliau, bahwa Allah SWT telah memurkai dan meninggalkan Beliau.
Lalu dalam ending kesusahan Rasulullah SAW, datanglah Malaikat Jibril as dengan membawa wahyu, yaitu Surat Ad-Dhuha sebagai bentuk melepaskan gelisah yang telah dirasakan Rasulullah SAW dan juga bantahan untuk orang-orang kafir.
Nah, pada saat Malaikat Jibril membacakan Surat Ad-Dhuha itulah, Rasulullah SAW dengan perasaan sangat lega mengatakan :
اَللّٰهُ اَكْبَرُ
"Allah Maha Besar".
Dari sinilah para ulama' menetapkan hukum membaca takbir adalah sunnah pada setiap usai membaca Surat Ad-Dhuha sampai Surat An-Nas. Namun di antaranya, sebagian ulama' memberikan tambahan kalimat tahlil yang dibaca sebelum basmallah :
لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ، وَاللّٰهُ اِكْبَرُ
"Tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang".
Sebagian ulama' lainnya menambahi lagi dengan kalimat tahmid sebelum membaca basmallah, sehingga menjadi :
لَا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ، وَاللّٰهُ اِكْبَرُ، وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ
"Tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar, hanya bagi Allah segala puji, dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang".
Namun, penambahan terakhir inilah yang hingga sampai saat ini dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa, baik saat melakukan darus maupun melakukan khatmil qur'an. Jadi, disunnahkan membaca kalimat tersebut setiap kali usai membaca Surat Ad-Dhuha da seterusnya sampai usai membaca Surat An-Nas.
________________
Sumber : Kitab Hidayatul Mustafid, Fasal tentang Penjelasan Tentang Takbir, Sebab, Bentuk, Awal, dan Akhirnya (fasal sebelum akhir).
Penulis : Syekh Muhammad Al-Mahmud ra.